A. HAKIKAT PRAGMATIK
Istilah Pragmatik berasal dari kata
Pragmatika diperkenalkan oleh Charles Moris (1938), ketika membuat sistematika
ajaran Charles R Pierce tentang semiotika (ilmu tanda). Pragmatika adalah ilmu
tentang pragmatik yakni hubungan antar tanda dengan penggunanya. Pragmatik
adalah language in use, studi terhadap makna ujaran dalam situasi tertentu.
Sifat-sifat bahasa dapat dimengerti melalui pragmatik, yakni bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi. Kata pragmatik berasal dari bahasa Jerman
PRAGMATISH yang diusulkan oleh seorang filsuf jerman Immanuel Kant. Pragmatish
dari pramaticus (bahasa latin) bermakna ‘pandai berdagang’ atau dalam bahasa
Yunani Pragmatikos dari Pragma artinya ‘perbuatan’ dan ‘berbuat. Pragmatik adalah
salah satu cabang ilmu bahasa yang masih tergolong baru bila dilihat dari
perkembangannya. Namun demikian, tidak sedikit ahli bahasa yang mulai memberi
perhatian secara penuh terhadap pragmatik sehingga mengalami perkembangan
pesat. Perkembangan pragmatik disebabkan semakin tingginya tingkat kesadaran
para ahli bahasa terhadap pemahaman pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan
dalam komunikasi (Leech, 1983; Wijana, 1995: 46 dalam Rohmadi; 2010: 1).
Para ahli bahasa menyadari bahwa
perkembangan bahasa selalu mengikuti perkembangan kehidupan manusia, yakni
perkembangan pola pikir manusia, teknologi, budaya dan pendidikan. dan Tanpa
ada perkembangan zaman mungkin orang juga tidak akan memiliki kreatifitas
berpikir secara komprehensif. Firt mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat
dilakukan tanpa memepertimbangakan konteks situasi yang meliputi partisipasi,
ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal-hal yang sedang berlangsung,
serta dampak-dampak tindakan tutur yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk
perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan (Wijana, 1996:5 dalam Rohmadi,
2010:2). Sementara itu, Haliday memandang bahasa sebagai kajian tentang makna
yang berkaitan dengan struktur sosial yang tidak terlepas dari
aktivitas-aktivitasnya (Haliday& Hasan, 1985 dalam Rohmadi, 2010:2).
Beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa adanya
perkembangan
pragmatik dilandasi oleh pemikiran-permikiran ahli bahasa terdahulu. Dengan
demikian, pemikiran para ahli bahasa tersebut memberikan inspirasi para tata bahasawan
sekarang untuk menyempurnakan dan membuktikan kebenaran teori-teori para ahli
bahasa terdahulu. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka dapat
ditegaskan bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks.
Konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur dalam
berinteraksi dengan lawan tutur. Senada dengan pernyataan tersebut, Leech
(dalam Rohmadi, 2010:2) mengungkapkan bahwa pragmatics studies meaning in
relation to speech situation. Menurutnya pragmatik mempelajari bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi, dan bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai
konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi. Sementara itu,
Wijana dalam bukunya Dasar-dasar Pragmatik menjelaskan bahwa pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa eksternal, yakni bagaimana
satuan kebahasaan digunakan dalam
komunikasi.
Jadi
makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terkait konteks (conteks
dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur. Pragmatik dapat
dimanfaatkan setiap penutur untuk memahami maksud lawan tutur. Penutur dan
lawan tutur dapat memanfaat pengalaman bersama (bacground knowledge) untuk
memudahkan pengertian bersama. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa hubungan
antara bahasa dengan konteks merupakan dasar dalam pemahaman pragmatik.
Pemahaman yang dimaksud adalah memahami maksud penutur (O1), lawan tutur (O2),
dan partisipan (O3) yang melibatkan konteks. Tanpa konteks akan sulit untuk
dapat memaknai makna eksternal bahasa dan maksud tuturan penutur dan lawan
tutur. Oleh karena itu, pragmatik mengkaji maksud tuturan yang terikat konteks
dengan memanfaatkan piranti-piranti pragmatik. Konsep pengalaman bersama
(background knowledge) sangat mendukung dalam mendiskripsikan berbagai maksud
tersirat dari penutur bagi lawan tutur dalam berbagai konteks pembicaraan.
B. OBJEK KAJIAN PRAGMATIK
B. OBJEK KAJIAN PRAGMATIK
Firth (dalam Fatimah, 2012: 72)
berpendapat bahwa kaijan bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan
konteks situasi. Konteks situasi meliputi partisipan, tindak partisipan (verbal
maupun nonverbal), ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal-hal yang
sedang berlangsung, dan dampak tindak tutur yang diwujudkan dengan
bentuk-bentuk perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan. Konteks situasi
berhubungan erat dengan pragmatik. Tiga macam tindak tutur dalam penggunaan
bahasa (pragmatik): (1) Lokusi, (2) ilokusi, dan (3) perlokusi. Tindak lokusi
adalah suatu tindak berkata yang menghasilkan ujaran dengan makna dan acuan
tertentu. Kedua, tindak ilokusi adalah suatu tindak tutur yang dilakukan dalam
mengatakan sesuatu, seperti pernyataan, janji, perintah, permintaan. Ketiga,
tindak perlokusi adalah suatu tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi
orang marah, menghibur.
Pragmatik dapat dikaji dari empat
kosentrasi, yakni: (1) kajian linguistik, dipahami sebagai kajian dalam
memdukan kompnen tanda bunyi dan makna serta subsistemnya (fonologi, gramatika
(morfologi, sintaksis), leksikon); (2) kajian pragmatik ujaran (Tema-Rema),
tema adalah bagian ujaran yang memberi informasi tentang apa yang sedang
dibicarakan rema yang memberi informasi tentang tema; atau focus-latar, focus
memberi informasi tentang unsure yang dianggap paling penting, dan latar yang
memberi dari mana ujaran dilihat; atau focus-kontras (memberi informasi unsur
positif-negatif); (3) kajian pragmatik wacana melalui pemahaman wacana (konteks
wacana) sebagai satuan terelngkap; (4) kajian kesatuan dan ketakfiran.
C.
KONTEKS
bagian
suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. situasi
yang ada hubungannya dengan suatu kejadian: orang itu harus dilihat sebagai
manusia yang utuh dlkehidupan pribadidan
masyarakatnya.
keseluruhan budaya atau situasi nonlinguistis tempat sebuah komunikasi terjadi. linguistis konteks yang memberikan makna yang paling cocok pada unsur bahasa. semotaktis lingkungan semantis yang ada di sekitar suatu unsur bahasa; makna unsur bahasa; sintaktis lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan kelas dan fungsi unsur tersebut. situasi lingkungan nonlinguistis ujaran yang merupakan alat untuk memperinci ciri-ciri situasi yg diperlukan untuk memahami makna ujaran
keseluruhan budaya atau situasi nonlinguistis tempat sebuah komunikasi terjadi. linguistis konteks yang memberikan makna yang paling cocok pada unsur bahasa. semotaktis lingkungan semantis yang ada di sekitar suatu unsur bahasa; makna unsur bahasa; sintaktis lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan kelas dan fungsi unsur tersebut. situasi lingkungan nonlinguistis ujaran yang merupakan alat untuk memperinci ciri-ciri situasi yg diperlukan untuk memahami makna ujaran
D.
TINDAK TUTUR
Istilah
dan teori yang mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1959. Menurut Chaer dan
Leoni (2010:50) teori ini merupakan catatan kuliah yang kemudian dibukukan oleh
J.O Urmson (1965) dengan judul “How to do thing with word?” Teori itu
baru terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan judul Speech
Act and Essay in The Philosophy of Language. Leech (1993:5-6) menyatakan
bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu
dilakukan, menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur
dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana dan bagaimana.
Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral
di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di
bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip
kerjasama dan prinsip kesantunan. Retorika tekstual, pragmatik membutuhkan
prinsip kerjasama. Menurut Wijana (1996:46) untuk melaksanakan prinsip
kerjasama, penutur harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim
kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan. Maksim kuantitas menghendaki
setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak
yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta
percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap
peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak
berlebih-lebihan, serta runtut. Sementara itu, Austin (dalam Leech, 1993:280)
menyatakan bahwa semua tuturan adalah sebuah bentuk tindakan dan tidak sekedar
sesuatu tentang dunia tindak ujar atau tutur (Speech act) adalah fungsi
bahasa sebagai sarana penindak. Semua kalimat atau ujaran diucapkan oleh
penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat disebut sebagai
aktivias atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam setiap tuturan
memiliki maksud tertentu yang berpengaruh pada orang lain.
Menurut Chaer dan Leonie (2010:50) tindak tutur
merupakan gejala individual. kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti
tindakan dalam tuturannya, Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
tindak tutur adalah aktivitas dengan menuturkan sesuatu. Tindak tutur yang
memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi
tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu
tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
E.
ASPEK TUTUR
Leech (dalam Wijana, 1996:10-12)
membagi aspek situasi tutur atas lima bagian yaitu: a. Penutur dan mitra tutur
b. Konteks tutur c. Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan d.
Tujuan tuturan e. Tuturan. Sebagai produk tindak verbal. Aspek-aspek situasi
tutur tersebut antara lain:
1.
Penutur dan mitra tutur
Konsep penutur dan mitra tuutr ini juga mencakup
penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media
tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah
usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban dsb.
2.
Konteks Tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks
dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan
bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan
konteks setting sosial disebut konteks. Konteks dalam pragmatik itu pada
hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang
dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3.
Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tuturan yang bermacam-macam
ini dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Begitu juga sebaliknya,
berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Pragmatik
merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented
activities).
4.
Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan
Gramatika tutur sebagai bentuk tindakan atau
kegiatan. Gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai editor yang
abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik
dsb. Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang terjadinya dalam situasi
tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang
lebih kongkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang
kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat
pengutaraannya.
5.
Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik
seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak
tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak
verbal. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat
ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat
ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan
tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil
kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.
F.
KLASIFIKASI TINDAK TUTUR
Pengertian beberapa Tindak Tutur (klasifikasi tindak
tutur)
1. Tindak Tutur
Lokusi
Tindak tutur lokusi yaitu tindak
mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus
dan menurut kaidah sintaksisnya. Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying
Something. Fokus lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan
mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu.
2. Tindak Tutur
Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur
yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan
untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang
terkait dengan maksud yang hendak disampaikan oleh pembicara. Tindak ilokusi disebut juga sebagai The
Act of Doing Something. Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud
dan fungsi atau daya tuturan. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan tindak
ilokusi adalah “untuk apa ujaran itu dilakukan” dan sudah bukan lagi dalam
tataran “apa makna tuturan itu?
Klasifikasi Tindak Tutur Ilokusi
a. Tindak tutur representatif
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya
akan kebenaran atas sesuatu yang diujarkan. Yang termasuk ke dalam jenis tindak
tutur ini adalah tuturan-tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan,
menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, dan berspekulasi.
b. Tindak tutur
direktif
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur
dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam
tuturan itu. Tuturan-tuturan yang termasuk jenis tindak tutur direktif adalah: memaksa,
mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan,
memerintah, memberi aba-aba, dan menantang.
c. Tindak tutur
ekspresif
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang diujarkan penutur
dimaksudkan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Yang termasuk jenis tindak tutur ini adalah tuturan-tuturan memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan
selamat, dan menyanjung.
d. Tindak tutur
komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan sesuatu yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk
jenis tindak tutur komisif adalah berjanji, bersumpah, mengancam, penolakan
dan menyatakan kesanggupan.
e. Tindak tutur
deklarasi
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
Tuturan-tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan,
melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, dan memaafkan termasuk jenis tindak tutur
deklarasi.
3. Tindak tutur
perlokusi
Tindak tutur perlokusi yaitu tindak
tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Tindak
perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan
yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi
yang mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja.
Tindak tutur yang pengujaran dimaksudkan untuk memengaruhi mitra tutur inilah
merupakan tindak perlokusi.
Pengertian beberapa Strategi Tindak Tutur
(Klasifikasi Strategi Tindak Tutur)
a. Tindak tutur
langsung
Tindak tutur langsung Secara formal, berdasarkan modusnya kalimat dibedakan
menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (introgatif), dan kalimat
perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk
memberikan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan
kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, dan permohonan.
b. Tindak tutur
tidak langsung
Tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus
kalimatnya dan disesuaikan dengan konteks yang mengikutinya. Misalnya, kalimat
berita yang seharusnya berfungsi untuk memberitakan sesuatu dapat digunakan
untuk meminta atau menyuruh. Begitu juga kalimat tanya yang seharusnya
berfungsi untuk menanyakan sesuatu dapat digunakan untuk meminta atau menyuruh
c. Tindak tutur
tidak literal
Tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan kata-kata
yang menyusunnya.
d. Tindak tutur
langsung literal
Tindak tutur langsung literal ialah tindak tutur yang diutarakan dengan
modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud
memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat
berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya.
e. Tindak tutur
tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan
dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi
makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh
penutur.
f. Tindak tutur
langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan
dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata
yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.
g. Tindak tutur
tidak langsung tidak literal
Tindak tutur
tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan.
G. PRINSIP
KERJA SAMA
Grice
(1975:45-47) mengemukakan bahwa wacana yang wajar dapat terjadi apabila antara
penutur dan petutur patuh pada prinsip kerja sama komunikasi. Prinsip kerja
sama tersebut terdiri dari empat maksim percakapan (conversational maxim),
yaitu: a) maksim kuantitas (maxim of quantity). b) maksim kualitas (maxim of quality). c) maksim relevansi ( maxim of relevance). dan d) maksim pelaksanaan(maxim of manner).
A. DEIKSIS,
IMPLIKATUR DAN PERAANGGAPAN
1. DEIKSIS
Deiksis merupakan
salah satu kajian dalam pragmatik. Deiksis merupakan penunjukan kata-kata yang
merujuk pada sesuatu, yakni kata-kata tersebut dapat ditafsirkan menurut makna
yang diacu penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan. Sebuah kata pada
deiksis dapat berubah berdasarkan situasi pembicaraan.
Deiksis dibedakan atas lima macam, yaitu
deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis
sosial.
2.
IMPLIKATUR
implikatur
ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
diucapkan. Implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati
yang tersembunyi. Secara etimologis, implikatur diturunkan dari implicatum.
Secara nominal, istilah ini hamper sama dengan kata implication, yang artinya
maksud, pengertian, keterlibatan. Secara structural, implikatur berfungsi
sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang
diimplikasikan”.
Implikatur
berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses
komunikasi. Ada dua macam implikatur, yaitu (1) conventional implicature
(implikatur konvensional), dan (2) conversation implicature (implikatur
percakapan). Implikatur konvensional ialah pengertian yang bersifat umum dan
konvensional. Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau
pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang
terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya
“yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum.
3. PERAANGGAPAN
Istilah
presuposisi adalah tuturan dari bahasa Inggris presupposition, yang berarti
‘perkiraan, persangkaan’. Semua pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan
atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu ungkapan wacana
dapat diterima atau dimengerti oleh pasangan bicara, yang pada gilirannya komunikasi
tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar. “Rujukan” itulah yang dimaksud
sebagai “praanggapan” yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai
konteks dan situasi berbahasa yang memuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi
pendengar/pembaca. Semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik yang bersifat
positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi dan
substansi dari kalimat tersebut. Sumber praanggapan adalah pembicara. Artinya,
perkiraan pengetahuan tentang sesuatu dimulai oleh ketika pembicara tersebut
mulai mengutarakan suatu tuturan. Praanggapan memegang keruntutan(koherensi)
wacana. Fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon terhadap
penafsiran suatu ujaran. Praangaapan
sebagai suatu dasar kelancaran wacana yang komunikatif. Pernyataan dari
suatu praanggapan akan menjadi praanggapan bagi ujaran selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN
http://ernasetya463.blogspot.co.id/2015/06/praanggapan-implikatur-inferensi dan.html. Diakses pada 03 maret 2016, pukul 23.40
http://kbbi.co.id/arti-kata/konteks.
Diakses pada 03 maret 2016, pukul 23.43
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0ahUKEwi1nZP5laHLAhVDxY4KHd9ZBG0QFghQMAg&url=http%3A%2F%2Feprints.uny.ac.id%2F9514%2F3%2Fbab%25202-08205244019.pdf&usg=AFQjCNEiMbBpqWmjN3RTt8DwJ8COnqOM0g&sig2=AIu-ZD54cl47IVZMyi6Nog&cad=rja.
Diakses pada 03 maret 2016, pukul 23.44
http://suratmisitisuratmi.blogspot.co.id/2014/05/pragmatik-bahasa-indonesia.html.
Diakses pada 03 maret 2016, pukul 23.47
https://littlestoriesoflanguages.wordpress.com/2012/04/19/prinsip-kerjasama-cooperative-principles/. Diakses
pada 03 maret 2016, pukul 23.50
http://ernasetya463.blogspot.co.id/2015/06/praanggapan-implikatur-inferensi-dan.html.
Diakses pada 03 maret 2016, pukul 23.56
Komentar
Posting Komentar